Hei Kawannn… Ini
cerpen kedua yang aku publish disini. Aku buat ini dengan inspirasi yang aku
dapat dari komik- komik yang sering aku baca. Yah, masih banyak salah- salah
dalam cerpen ini. So, langsung aja. Enjoy it….
Jangan lupa kasih komen dari cerpen2ku, biar aku bisa memperbaiki
tulisanku. Diharapkan tulisan yang membangun yah!
BEAUTIFUL DESTINY
Sinar mentari terasa begitu terik ketika aku baru saja
terbangun dari tidurku. Tirai jendela kamarku telah tersingkap, menandakan
telah ada yang memasuki kamarku dan berusaha membangunkanku beberapa menit yang
lalu. Jam masih menunjukkan pukul 07.00. Tak ada yang perlu kutakuti. Tidak
akan ada kata terlambat yang akan menghiasi hariku mengingat hari ini adalah
Hari Minggu.
Aku melangkah mendekati cahaya masuk. Suasananya terasa
sepi. Mungkin karena kepergian orangtuaku sejak beberapa hari lalu. Bukan pergi
dalam hal “selamanya”. Namun mereka meninggalkanku untuk mengunjungi nenek yang
tinggal di Kota Solo.
Aku beranjak dari tempatku berdiri. Mengambil sebuah
telepon genggam yang baru saja memainkan lagu SNSD “I Got the Boy”. Sebuah
pesan terpampang di benda mungil itu. Kubuka perlahan, membacanya membuatku
mengingat akan sebuah janji. Kakiku berlarian menuju kamar mandi di pojok
kamarku. Bergegas untuk bersiap- siap, mengingat beberapa menit lagi akan ada
sosok yang menjemputku.
Bunyi bel rumah telah terdengar. Kurapikan pakaian yang
kukenakan. Mematut tubuhku di depan cermin besar yang menempel di lemariku. Setelah
memastikan bahwa saat ini adalah penampilan terbaikku, aku pergi membuka pintu
yang menyembunyikan sosok yang tadi memencet bel rumahku.
Dia berdiri tegap di depanku. Sosok itu terlihat tampan
dengan menggunakan celana jeans yang dipadu dengan kaos putih sebagai dalaman
serta kemeja kotak- kotar warna biru. Rambutnya terlihat basah. Menunjukkan
sosok maskulinnya. Melihatnya terlihat sempurna membuatku mengingat kembali
dandananku pagi ini. Sebuah gaun selutut lengan pendek dengan rambut yang
terkuncir. Hmm.. cukup layaklahlah untuk berjalan bersamanya.
Pagi ini kami akan mengunjungi rumahnya. Bertemu dengan
orang yang selama ini membesarkannya. Mengenalkanku pada mereka sebagai seorang
yang menjadi bagian hidupnya 1 bulan ini setelah beberapa waktu yang lalu
memperkenalkannya pada orang tuaku.
Rumahnya tampak indah dengan pekarangan luas yang
ditumbuhi tanaman- tanaman mawar. Sama sekali tak cocok dengan kepribadiannya
yang dingin dan cuek pada sekitar. Bagaimana mungkin tanaman- tanaman itu
tumbuh indah di bawah perawatan orang sepertinya?
Sosok itu berjalan di depanku. Membiarkanku menikmati
keindahan bunga mawar di tamannya. Aku sama sekali tak pernah menyangka
hubungan ini akan terjalin sedemikian rupa. Bukan rahasia lagi di sekolah bahwa
aku dan dia itu bagai anjing dan kucing. Tak jarang pandangan penuh tanda tanya
tertuju padaku. Menyanyaiku bagaimana aku bisa jatuh hati padanya. Sosok trouble
maker di sekolah.
Jatuh Cinta. Sebuah perasaan yang indah bila dirasakan.
Siapa yang mencipkan kata- kata itu? Itu hanyalah sebuah omong kosong. Itulah
pikiranku pada awalnya. Pemikiran yang tercipta ketika cinta pertama yang membuat
sebuah lubang terbentuk di hatiku.
Jatuh Cinta. Dua kata yang membuatku sering bertanya-
tanya. Mengapa aku harus jatuh cinta pada trouble maker? Mengapa aku justru tak
bisa jatuh cinta pada orang yang sebenarnya ingin kucintai? Mengapa harus
selalu tercipta luka?
Sosok itu. Dia adalah sosok trouble maker yang dingin,
cuek, dan jahil. Bukan hanya satu-dua masalah yang
terbentuk karenanya. Membencinya.
Bagaimana mungkin aku menyukainya? Sosok itulah yang membuat air mataku selalu
mengalir membasahi pipiku. Membuatku menyesal mengenalnya. Jatuh Cinta padanya?
Dalam benak pun tak pernah timbul harapan yang seperti itu.
***
Aku mengenalnya sejak 4 tahun lalu. Ketika aku pertama
kali menginjakkan kakiku di bangku SMP-ku. Sejak awal, aku tahu dia bukanlah
sosok baik yang akan membuat kehidupan SMP-ku menjadi indah. Setiap harinya
selalu ada keusilannya yang membuat hari- hariku menjadi buruk. 3 tahun. 3
tahun aku selalu dalam kondisi itu. Sebal. Marah. Emosi. Luka. Semuanya menjadi
hiasan buruk di hari- hariku.
Bagaikan sebuah hoki ketika melihatnya mendapatkan sebuah
hukuman karena sikapnya.Membolos sekolah selama 1 bulan tanpa keterangan.
Senang? Tentu saja. Bagaimana mungkin aku tidak senang mendapatinya menjalankan
hukuman atas tindakan bodohnya? Itu adalah suatu bentuk kesenangan tersendiri
untukku. Dan membolos? Bagaimana mungkin bisa dilakukannya selama itu? Kurang
kerjaan. Pikirku saat itu.
Wajahnya menunjukkan luka saat seorang guru menderanya
dengan kata- kata penuh tekanan. Suaranya terdengar lirih sarat penyesalan. Matanya
memerah. Tangannya mengepal erat. Mungkin tekanan yang didapatkannya terlalu
berat.
Saat itulah hatiku terasa begitu sesak. Entah kenapa
kesedihan mulai menderaku melihat sosok lemahnya. Hatiku seakan tak rela melihatnya
berubah menjadi sosok lemah itu. Sosok itu terlihat berbeda dengan
kesehariannya. Senyuman jahil yang selalu terbentuk setelah mengusiliku
menghilang dari wajahnya. Digantikan oleh sosok dengan raut datar. Dan itu
berlanjut hingga lulus sekolah. Saat itulah aku sadar, bahwa saat itu aku
justru telah jatuh hati pada sosok itu.
Rindu. Satu rasa yang selalu kurasakan ketika hari- hari
libur mendatangiku. Mengharapkan akan adanya waktu yang mempertemukanku
dengannya. Mengharapkan mata ini menatap sosoknya.
Harapan- harapan mulai mendatangiku ketika aku melihatnya
memasuki SMA yang akan kuhuni 3 tahun mendatang. Berharap akan berada di kelas
yang sama lagi. Berharap akan ada keusilan darinya lagi. Berharap akan ada
senyuman jahil yang selalu ia tujukan padaku. Harapan- harapan itu tak pernah
menghilang. Selalu bertambah dengan harapan- harapan baru tentangnya.
Hari demi hari kulalui dengan menatapnya. Selalu di jam
istirahat. Karena pada jam itu memang waktuku satu- satunya untuk bisa
menatapnya. Ya. Aku berada di kelas yang berbeda dengannya. Harapanku tak
pernah menjadi kenyataan. Sosok itu berubah, bukan lagi sosok jahil dengan
senyum yang senyuman. Sosok yang sama seperti yang terakhir kali kulihat di
bangku SMP. Ya. Sosok itu berubah. Dan aku sangat yakin. Kesalahannya di SMP
bukan alasannya berubah, Ada alasan lain yang membuatnya menjadi sosok lain.
Mata. Aku selalu menatap matanya. Selalu mengawasi
tingkahnya. Aku tahu, perbedaan tempat membuatku tak bisa mengenalnya sebagai
sosok dulu. Dia selalu tampak dingin di luar, namun seringkali terlihat
bercanda dengan teman perempuannya. Melihatnya membuatku selalu meneteskan air
mata. Berharap hal yang sama kembali terulang padaku. Berharap senyuman jahil
dia berikan hanya untukku.
Waktu masih berjalan dan tak pernah ada perubahan yang
berarti padaku tentangnya. Sosok itu pun masih menjadi sosok yang mengisi hatiku.
Mungkinkah hanya sebuah rasa penasaran? Mungkinkah hanya rasa kasihan? Aku tak
pernah tahu. Dan aku sama sekali tak pernah tahu arti setiap perasaan yang
tiba- tiba muncul di hatiku.
Tingkat 2. Betapa bahagianya aku saat melihat namanya
terpampang jelas di tempat yang sama dimana terdapat namaku di sebuah lembaran.
Aku bahkan langsung berlari menemui temanku yang menjadi sampah ceritaku
tentangnya. Memberitahukan sebuah keberuntungan yang datang padaku. Senyuman bahkan tak pernah luput dari wajahku.
Harapanku yang tadinya luntur seakan terbuka lagi. Sebuah gerbang keceriaan
dalam hatiku terbuka lebar.
Sosok itu datang. Membuat mataku hanya terpaku padanya. Langkahnya
mendekati bangku kosong disebelahku. Tanpa sebuah sapaan. Seakan kami tak
pernah saling kenal. Aku hanya diam. Aku mengalihkan tatapanku darinya.
Papan tulis menjadi tujuan tatapanku. Mencoba
mengalihkanku dari satu rasa yang justru membuatku sesak. Bukan sesak yang
kubenci.
Jantungku mungkin memang lagi senang berolahraga. Membuat
pemiliknya bingung bagaimana mengatur ekspresi muka datar. Seolah tak ada yang
terjadi padaku.
“Hai”. Sebuah sapaan yang membawaku menuju suatu
kebahagiaan. Mungkin memang pelan. Aku harus terbiasa dengannya dulu hingga
dirinya mau membuka hatinya kembali untuk orang sepertiku. Percakapan-
percakapan kecil yang kami bangun perlahan mulai menjadi percakapan- percakapan
akrab. Membuatku kembali berpikir dari pada mendapat kejahilannya, justru aku
lebih menginginkan situasi seperti ini. Bahagia. Bahkan kata itu tak sanggup
mengungkapkan perasaan yang sedang kurasakan. Kata Bahagia saja tak cukup. 1
tahun. Aku telah menunggunya selama itu. Mungkin bukan termasuk waktu yang lama
bagi orang lain. Namun menunggu dengan perasaan kacau sepertiku, satu tahun itu
terasa sangat lama.
Aku mulai memahami kondisinya saat itu. Saat dimana dia
berubah menjadi sosok lain. Dia orang yang tegar. Dia orang yang kuat. Dia
orang yang tabah. Itu pikiranku yang menggambarkan apa yang terjadi padanya
dulu. Aku tak penah berpikir, bagaimana kondisiku saat aku berada di tempatnya.
Dengan orangtua yang bercerai serta melalaikan anak- anaknya. Melalaikan
dirinya dan adiknya. Membuatnya mengurus adiknya yang tak mengerti apa yang sedang
terjadi. Membuatnya tanpa keterangan selama satu bulan.
Dia percaya padaku. Menceritakan masa lalunya bukankah
satu bentuk kepercayaan? Dan aku sangat senang kenyataan itu. Kepercayaan yang
telah ia bangun, menjadi sahabatnya, mengenal lebih jauh tentangnya. Semuanya
sudah lebih dari cukup untukku. Aku tak ingin memaksakan egoku sendiri untuk
menjadi lebih untuknya.
Waktu masih selalu berjalan. Aku selalu dengannya. Dia
kembali menjadi sosok yang dulu kukenal. Senyuman bahkan seringaian jahil
sering dia tujukan padaku. Sikapnya kembali. Mungkin seringkali membuatku
kesal, namun bukan sesuatu yang bisa membuatku marah dan jengkel padanya.
Mataku terbelalak lebar ketika melihatnya duduk dengan
seorang perempuan di taman sekolah. Aku tak mengenalnya. Mungkin adik tingkat.
Mengingat di sekolah aku menjadi sosok pengurus OSIS, aku banyak mengenal siswa
seangkatan.
Aku masih menatapnya dari kejauhan. Dia tersenyum. Kenapa
aku merasa kenyataan itu membuatku sakit? Bukankah menjadi sahabatnya saja
telah cukup untukku? Bagaimana mungkin aku masih merasakan luka ini? Harusnya
luka ini telah lama hilang.
Air mata mulai menetes, Untuk kesekian kalinya aku
menangis karenanya. Kakiku terasa lemas seakan tak sanggup lagi untuk berdiri.
Aku berlari meninggalkan taman. Teman- teman menatapku
bingung. Merasa baru kali ini melihatku menangis. Mendatangaiku, menanyakan
penyebab lelehnya air mataku. Bungkam. Hanya itu yang bisa kulakukan. Lebih
tepatnya, aku seakan tak sanggup berbicara. Organ- organ tubuhku seakan lumpuh.
Tak bisa melakukan apapun.
Dia kembali. Menatap puluhan orang yang memenuhi tempat
duduknya denganku. Menghampiriku yang masih terlihat pucat. Menanyakan
penyebabnya. Memintaku mengatakan siapa yang membuatku terlihat menyedihkan.
Tak sadarkah dirinya? Justru dirinyalah yang membuatku terlihat begitu buruk.
Kamarku terasa sepi. Hanya tangis sesenggukanku yang
membuat kamar ini masih berpenghuni. Bekas air mata masih terasa di pipi. Aku
tak dapat menangis lagi seakan air mata yang tersimpan telah habis kugunakan.
Kuusapkan punggung tangan kanan pada pipiku. Menghapus
jejak air mata yang tersisa. Sebuah keputusan telah terpikirkan dalam benakku.
Mungkin ini hanya satu- satunya cara membuat hatiku tenang.
Menyatakan perasaan. Mungkin terdengar bodoh dan tak tahu
malu. Bagaimana mungkin seorang bergender wanita menyatakan perasaan? Bukankah
itu seharusnya milik pria?
Masa Bodoh. Ini bukan untuk orang lain. Ini untukku
sendiri. Bila memang tersambut ya itu suatu yang bagus. Namun bukan berarti
sebuah penolakan akan menjadi kesedihan sendiri untukku. Setidaknya aku telah
tahu jelas tentang apa yang dirasakannya. Bila memang tidak bisa, suatu saat
pasti akan ada saat dimana perasaan yang telah tercipta ini hilang.
Aku memanggil sosoknya saat sebuah pagi yang cerah
menyambutku. Memanggilnya ke sebuah taman kota yang tak jauh dari rumahku. Dia
terlihat tampan dengan sebuah kaos putih yang melekat di tubuhnya. Selaras
dengan kulitnya yang juga putih. Terlihat berbeda dengan sosok yang
kesehariannya selalu mengenakan kaos warna gelap.
Dengan sedikit basa- basi kuutarakan apa yang kurasakan
padanya. Ia nampak terkejut dengan ucapanku. Hal yang lumrah. Selama ini bahkan
aku tak pernah menunjukkan ketertarikanku padanya.
Senyuman kecil terbentuk di wajahnya. Sebuah kata “iya”
yang dilontarkannya membuatku terbelalak tak percaya. Bagaimana mungkin? Hanya
itu yang kupikirkan.
Cerita demi cerita mengalir di pembicaraan kami.
Dikatakannya bahwa apa yang kulihat hanya sebuah salah
paham. Sosok gadis yang
kulihat saat itu adalah adik angkatnya. Adik dari ayahnya yang menikah lagi
dengan seorang perempuan janda yang memiliki anak perempuan.
Kebahagiaan yang besar telah diberikan Tuhan untukku.
Menjadi satu bagian penting dalam hidupnya. Menjadi satu yang memahaminya.
Menjadi satu untuknya. Bukankah itu suatu yang indah?
Menjadikan sosok itu satu di hidupku. Menjadikannya
oksigen di setiap napasku. Menjadikannya alasan untuk bertahan ketika duka
mendatangiku. Menjadikannya penguat ketika ku rapuh. Menjadikannya tempatku
bergantung. Bukankah itu keren?
Mungkin satu yang akan membuatku lelah. Pndangan teman-
teman SMP-ku tentang kami. Alasanku jatuh padanya. Alasanku begitu mudah
menggantungkan semua padanya. Alasanku bertahan dengannya. Yah, mungkin
penjelasan itu yang paling membuatku capek.
***
Panggilan dari Alam menyadarkanku yang masih terpaku pada
keindahan pekarangan rumahnya. Memang baru kali ini aku berkunjung ke rumahnya.
Biasanya selalu bertemu di tempat kami membuat janji. Yah, nantinya akan ada
banyak waktu yang kugunakan untuk lebih mengagumi taman ini. Pikirku.
Dihampirinya diriku, menggandeng tanganku menuju pintu
rumahnya. Empat orang memenuhi ruang keluarga. Seorang pria paruh baya dengan
wanita yang kurang lebih 4 tahun lebih muda dari pria itu berdiri berdampingan.
Pandangannya bingung dengan raut wajah terkejut. Ckck.. Apakah cowok ini tak
bercerita dulu pada keluarganya sehingga dirinya mendapatkan tatapan terkejut
ini?
Dua orang gadis kecil duduk di sofa. Herin dan Mia. Adik
kandung Alam serta adik angkatnya. Tatapan mereka menyelidik. Menatapku seakan
ingin tahu apa yang kulakukan di rumahnya.
Aku tersenyum kaku pada mereka. Masih tak terbiasa dengan
pandangan- pandangan yang tertuju padaku.
Sebuah genggaman yang tak lepas dariku seakan memberiku
keyakinan. Setelah menarik napas dalam- dalam, kuperkenalkan diriku pada
keluarga Alam.
“Ah.. Selamat Pagi Tente, Om, Herin, Mia. Hmm..Saya
Yoona. Saya....,” Aku diam. Tak sanggung mengucapkan kata yang seharusnya
kuucapkan. Kata yang sama seperti yang diucapkannya pada orangtuaku.
“Dia pacarku Ma,Pa,”
Aku menatapnya. Tatapannya selalu yakin. Tak pernah
mengandung keraguan sedikitpun. Membuatku merasa iri dengan keyakinan yang
selalu dimilikinya.
Tatapan- tatapan itu mulai berganti dengan senyuman.
Bahkan kudapati senyuman menggoda dari Mia dan Om Ilham.
“Oh, jadi gadis ini yang sering kamu ceritakan ke Mia?”
Otakku bertanya- tanya. Dia cerita ke Mia tentang aku?
Tentang apa nih? Duh, jangan= jangan cerita tantang perselisihan kami waktu
masih di SMP?
Alam memberengut kesal. Ditatapnya Mia dengan tajam.
Gadis berumur 14 tahun itu hanya tersenyum mengejek pada kakaknya itu.
“Ish.. Mia buat apa sih ceritain itu sama Papa? Kurang
kerjaan banget! Sini lo!”
Melihatnya akrab dengan adik- adiknya serta orangtuanya
membuatku iri. Aku anak tunggal. Nggak pernah merasakan rasanya punya adik.
Mungkin perkenalanku dengannya bisa membuatku merasa seperti memiliki adik.
Suasananya menghangat. Orang tuanya dan adik-adinya
ramah. Aku selalu tersenyum mendengar cerita- cerita yang terlontar dari bibir
Mia. Teriakan Alam tak jarang keluar ketika Mia akan membocorkan rahasianya
tentangku. Dan aku hanya tertawa mengikuti alur cerita ini.
***
Cinta...
Bagaimana mungkin seseorang bisa punya alasan untuk
mencinta...
Aku bahkan tak butuh alasan untuk jatuh cinta,,
Aku hanya perlu jatuh cinta...
Tak perlu memikirkan bagaimana cinta itu terbentuk..
Alasan apa yang membenarkanku jatuh pada sosok yang tak
kuinginkan...
Karena aku tau..
Apabila alasan cinta terbentuk..
Akan ada lebih banyak alasan untuk menginggalkan cinta...
Aku hanya perlu menjalaninya...
Jika itu memang benar seperti takdir yang telah
tertulis...
Dia akan datang padaku..
***
END