Rabu, 30 Januari 2013

[CERPEN] BEAUTIFUL DESTINY




Hei Kawannn… Ini cerpen kedua yang aku publish disini. Aku buat ini dengan inspirasi yang aku dapat dari komik- komik yang sering aku baca. Yah, masih banyak salah- salah dalam cerpen ini. So, langsung aja. Enjoy it….  Jangan lupa kasih komen dari cerpen2ku, biar aku bisa memperbaiki tulisanku. Diharapkan tulisan yang membangun yah!




BEAUTIFUL DESTINY
 
 
Sinar mentari terasa begitu terik ketika aku baru saja terbangun dari tidurku. Tirai jendela kamarku telah tersingkap, menandakan telah ada yang memasuki kamarku dan berusaha membangunkanku beberapa menit yang lalu. Jam masih menunjukkan pukul 07.00. Tak ada yang perlu kutakuti. Tidak akan ada kata terlambat yang akan menghiasi hariku mengingat hari ini adalah Hari Minggu.

Aku melangkah mendekati cahaya masuk. Suasananya terasa sepi. Mungkin karena kepergian orangtuaku sejak beberapa hari lalu. Bukan pergi dalam hal “selamanya”. Namun mereka meninggalkanku untuk mengunjungi nenek yang tinggal di Kota Solo.

Aku beranjak dari tempatku berdiri. Mengambil sebuah telepon genggam yang baru saja memainkan lagu SNSD “I Got the Boy”. Sebuah pesan terpampang di benda mungil itu. Kubuka perlahan, membacanya membuatku mengingat akan sebuah janji. Kakiku berlarian menuju kamar mandi di pojok kamarku. Bergegas untuk bersiap- siap, mengingat beberapa menit lagi akan ada sosok yang menjemputku.
Bunyi bel rumah telah terdengar. Kurapikan pakaian yang kukenakan. Mematut tubuhku di depan cermin besar yang menempel di lemariku. Setelah memastikan bahwa saat ini adalah penampilan terbaikku, aku pergi membuka pintu yang menyembunyikan sosok yang tadi memencet bel rumahku.

Dia berdiri tegap di depanku. Sosok itu terlihat tampan dengan menggunakan celana jeans yang dipadu dengan kaos putih sebagai dalaman serta kemeja kotak- kotar warna biru. Rambutnya terlihat basah. Menunjukkan sosok maskulinnya. Melihatnya terlihat sempurna membuatku mengingat kembali dandananku pagi ini. Sebuah gaun selutut lengan pendek dengan rambut yang terkuncir. Hmm.. cukup layaklahlah untuk berjalan bersamanya.

Pagi ini kami akan mengunjungi rumahnya. Bertemu dengan orang yang selama ini membesarkannya. Mengenalkanku pada mereka sebagai seorang yang menjadi bagian hidupnya 1 bulan ini setelah beberapa waktu yang lalu memperkenalkannya pada orang tuaku.

Rumahnya tampak indah dengan pekarangan luas yang ditumbuhi tanaman- tanaman mawar. Sama sekali tak cocok dengan kepribadiannya yang dingin dan cuek pada sekitar. Bagaimana mungkin tanaman- tanaman itu tumbuh indah di bawah perawatan orang sepertinya?

Sosok itu berjalan di depanku. Membiarkanku menikmati keindahan bunga mawar di tamannya. Aku sama sekali tak pernah menyangka hubungan ini akan terjalin sedemikian rupa. Bukan rahasia lagi di sekolah bahwa aku dan dia itu bagai anjing dan kucing. Tak jarang pandangan penuh tanda tanya tertuju padaku. Menyanyaiku bagaimana aku bisa jatuh hati padanya. Sosok trouble maker di sekolah.
Jatuh Cinta. Sebuah perasaan yang indah bila dirasakan. Siapa yang mencipkan kata- kata itu? Itu hanyalah sebuah omong kosong. Itulah pikiranku pada awalnya. Pemikiran yang tercipta ketika cinta pertama yang membuat sebuah lubang terbentuk di hatiku.

Jatuh Cinta. Dua kata yang membuatku sering bertanya- tanya. Mengapa aku harus jatuh cinta pada trouble maker? Mengapa aku justru tak bisa jatuh cinta pada orang yang sebenarnya ingin kucintai? Mengapa harus selalu tercipta luka?

Sosok itu. Dia adalah sosok trouble maker yang dingin, cuek, dan jahil. Bukan hanya satu-dua masalah yang 
terbentuk karenanya. Membencinya. Bagaimana mungkin aku menyukainya? Sosok itulah yang membuat air mataku selalu mengalir membasahi pipiku. Membuatku menyesal mengenalnya. Jatuh Cinta padanya? Dalam benak pun tak pernah timbul harapan yang seperti itu.
***
Aku mengenalnya sejak 4 tahun lalu. Ketika aku pertama kali menginjakkan kakiku di bangku SMP-ku. Sejak awal, aku tahu dia bukanlah sosok baik yang akan membuat kehidupan SMP-ku menjadi indah. Setiap harinya selalu ada keusilannya yang membuat hari- hariku menjadi buruk. 3 tahun. 3 tahun aku selalu dalam kondisi itu. Sebal. Marah. Emosi. Luka. Semuanya menjadi hiasan buruk di hari- hariku.

Bagaikan sebuah hoki ketika melihatnya mendapatkan sebuah hukuman karena sikapnya.Membolos sekolah selama 1 bulan tanpa keterangan. Senang? Tentu saja. Bagaimana mungkin aku tidak senang mendapatinya menjalankan hukuman atas tindakan bodohnya? Itu adalah suatu bentuk kesenangan tersendiri untukku. Dan membolos? Bagaimana mungkin bisa dilakukannya selama itu? Kurang kerjaan. Pikirku saat itu.
Wajahnya menunjukkan luka saat seorang guru menderanya dengan kata- kata penuh tekanan. Suaranya terdengar lirih sarat penyesalan. Matanya memerah. Tangannya mengepal erat. Mungkin tekanan yang didapatkannya terlalu berat.

Saat itulah hatiku terasa begitu sesak. Entah kenapa kesedihan mulai menderaku melihat sosok lemahnya. Hatiku seakan tak rela melihatnya berubah menjadi sosok lemah itu. Sosok itu terlihat berbeda dengan kesehariannya. Senyuman jahil yang selalu terbentuk setelah mengusiliku menghilang dari wajahnya. Digantikan oleh sosok dengan raut datar. Dan itu berlanjut hingga lulus sekolah. Saat itulah aku sadar, bahwa saat itu aku justru telah jatuh hati pada sosok itu.

Rindu. Satu rasa yang selalu kurasakan ketika hari- hari libur mendatangiku. Mengharapkan akan adanya waktu yang mempertemukanku dengannya. Mengharapkan mata ini menatap sosoknya.
Harapan- harapan mulai mendatangiku ketika aku melihatnya memasuki SMA yang akan kuhuni 3 tahun mendatang. Berharap akan berada di kelas yang sama lagi. Berharap akan ada keusilan darinya lagi. Berharap akan ada senyuman jahil yang selalu ia tujukan padaku. Harapan- harapan itu tak pernah menghilang. Selalu bertambah dengan harapan- harapan baru tentangnya.

Hari demi hari kulalui dengan menatapnya. Selalu di jam istirahat. Karena pada jam itu memang waktuku satu- satunya untuk bisa menatapnya. Ya. Aku berada di kelas yang berbeda dengannya. Harapanku tak pernah menjadi kenyataan. Sosok itu berubah, bukan lagi sosok jahil dengan senyum yang senyuman. Sosok yang sama seperti yang terakhir kali kulihat di bangku SMP. Ya. Sosok itu berubah. Dan aku sangat yakin. Kesalahannya di SMP bukan alasannya berubah, Ada alasan lain yang membuatnya menjadi sosok lain.
Mata. Aku selalu menatap matanya. Selalu mengawasi tingkahnya. Aku tahu, perbedaan tempat membuatku tak bisa mengenalnya sebagai sosok dulu. Dia selalu tampak dingin di luar, namun seringkali terlihat bercanda dengan teman perempuannya. Melihatnya membuatku selalu meneteskan air mata. Berharap hal yang sama kembali terulang padaku. Berharap senyuman jahil dia berikan hanya untukku.

Waktu masih berjalan dan tak pernah ada perubahan yang berarti padaku tentangnya. Sosok itu pun masih menjadi sosok yang mengisi hatiku. Mungkinkah hanya sebuah rasa penasaran? Mungkinkah hanya rasa kasihan? Aku tak pernah tahu. Dan aku sama sekali tak pernah tahu arti setiap perasaan yang tiba- tiba muncul di hatiku.

Tingkat 2. Betapa bahagianya aku saat melihat namanya terpampang jelas di tempat yang sama dimana terdapat namaku di sebuah lembaran. Aku bahkan langsung berlari menemui temanku yang menjadi sampah ceritaku tentangnya. Memberitahukan sebuah keberuntungan yang datang padaku.  Senyuman bahkan tak pernah luput dari wajahku. Harapanku yang tadinya luntur seakan terbuka lagi. Sebuah gerbang keceriaan dalam hatiku terbuka lebar.

Sosok itu datang. Membuat mataku hanya terpaku padanya. Langkahnya mendekati bangku kosong disebelahku. Tanpa sebuah sapaan. Seakan kami tak pernah saling kenal. Aku hanya diam. Aku mengalihkan tatapanku darinya.

Papan tulis menjadi tujuan tatapanku. Mencoba mengalihkanku dari satu rasa yang justru membuatku sesak. Bukan sesak yang kubenci.

Jantungku mungkin memang lagi senang berolahraga. Membuat pemiliknya bingung bagaimana mengatur ekspresi muka datar. Seolah tak ada yang terjadi padaku.

“Hai”. Sebuah sapaan yang membawaku menuju suatu kebahagiaan. Mungkin memang pelan. Aku harus terbiasa dengannya dulu hingga dirinya mau membuka hatinya kembali untuk orang sepertiku. Percakapan- percakapan kecil yang kami bangun perlahan mulai menjadi percakapan- percakapan akrab. Membuatku kembali berpikir dari pada mendapat kejahilannya, justru aku lebih menginginkan situasi seperti ini. Bahagia. Bahkan kata itu tak sanggup mengungkapkan perasaan yang sedang kurasakan. Kata Bahagia saja tak cukup. 1 tahun. Aku telah menunggunya selama itu. Mungkin bukan termasuk waktu yang lama bagi orang lain. Namun menunggu dengan perasaan kacau sepertiku, satu tahun itu terasa sangat lama.

Aku mulai memahami kondisinya saat itu. Saat dimana dia berubah menjadi sosok lain. Dia orang yang tegar. Dia orang yang kuat. Dia orang yang tabah. Itu pikiranku yang menggambarkan apa yang terjadi padanya dulu. Aku tak penah berpikir, bagaimana kondisiku saat aku berada di tempatnya. Dengan orangtua yang bercerai serta melalaikan anak- anaknya. Melalaikan dirinya dan adiknya. Membuatnya mengurus adiknya yang tak mengerti apa yang sedang terjadi. Membuatnya tanpa keterangan selama satu bulan.

Dia percaya padaku. Menceritakan masa lalunya bukankah satu bentuk kepercayaan? Dan aku sangat senang kenyataan itu. Kepercayaan yang telah ia bangun, menjadi sahabatnya, mengenal lebih jauh tentangnya. Semuanya sudah lebih dari cukup untukku. Aku tak ingin memaksakan egoku sendiri untuk menjadi lebih untuknya.

Waktu masih selalu berjalan. Aku selalu dengannya. Dia kembali menjadi sosok yang dulu kukenal. Senyuman bahkan seringaian jahil sering dia tujukan padaku. Sikapnya kembali. Mungkin seringkali membuatku kesal, namun bukan sesuatu yang bisa membuatku marah dan jengkel padanya.
Mataku terbelalak lebar ketika melihatnya duduk dengan seorang perempuan di taman sekolah. Aku tak mengenalnya. Mungkin adik tingkat. Mengingat di sekolah aku menjadi sosok pengurus OSIS, aku banyak mengenal siswa seangkatan.

Aku masih menatapnya dari kejauhan. Dia tersenyum. Kenapa aku merasa kenyataan itu membuatku sakit? Bukankah menjadi sahabatnya saja telah cukup untukku? Bagaimana mungkin aku masih merasakan luka ini? Harusnya luka ini telah lama hilang.

Air mata mulai menetes, Untuk kesekian kalinya aku menangis karenanya. Kakiku terasa lemas seakan tak sanggup lagi untuk berdiri.

Aku berlari meninggalkan taman. Teman- teman menatapku bingung. Merasa baru kali ini melihatku menangis. Mendatangaiku, menanyakan penyebab lelehnya air mataku. Bungkam. Hanya itu yang bisa kulakukan. Lebih tepatnya, aku seakan tak sanggup berbicara. Organ- organ tubuhku seakan lumpuh. Tak bisa melakukan apapun.

Dia kembali. Menatap puluhan orang yang memenuhi tempat duduknya denganku. Menghampiriku yang masih terlihat pucat. Menanyakan penyebabnya. Memintaku mengatakan siapa yang membuatku terlihat menyedihkan. Tak sadarkah dirinya? Justru dirinyalah yang membuatku terlihat begitu buruk.
Kamarku terasa sepi. Hanya tangis sesenggukanku yang membuat kamar ini masih berpenghuni. Bekas air mata masih terasa di pipi. Aku tak dapat menangis lagi seakan air mata yang tersimpan telah habis kugunakan.

Kuusapkan punggung tangan kanan pada pipiku. Menghapus jejak air mata yang tersisa. Sebuah keputusan telah terpikirkan dalam benakku. Mungkin ini hanya satu- satunya cara membuat hatiku tenang.
Menyatakan perasaan. Mungkin terdengar bodoh dan tak tahu malu. Bagaimana mungkin seorang bergender wanita menyatakan perasaan? Bukankah itu seharusnya milik pria?
Masa Bodoh. Ini bukan untuk orang lain. Ini untukku sendiri. Bila memang tersambut ya itu suatu yang bagus. Namun bukan berarti sebuah penolakan akan menjadi kesedihan sendiri untukku. Setidaknya aku telah tahu jelas tentang apa yang dirasakannya. Bila memang tidak bisa, suatu saat pasti akan ada saat dimana perasaan yang telah tercipta ini hilang.

Aku memanggil sosoknya saat sebuah pagi yang cerah menyambutku. Memanggilnya ke sebuah taman kota yang tak jauh dari rumahku. Dia terlihat tampan dengan sebuah kaos putih yang melekat di tubuhnya. Selaras dengan kulitnya yang juga putih. Terlihat berbeda dengan sosok yang kesehariannya selalu mengenakan kaos warna gelap.

Dengan sedikit basa- basi kuutarakan apa yang kurasakan padanya. Ia nampak terkejut dengan ucapanku. Hal yang lumrah. Selama ini bahkan aku tak pernah menunjukkan ketertarikanku padanya.
Senyuman kecil terbentuk di wajahnya. Sebuah kata “iya” yang dilontarkannya membuatku terbelalak tak percaya. Bagaimana mungkin? Hanya itu yang kupikirkan.

Cerita demi cerita mengalir di pembicaraan kami. Dikatakannya bahwa apa yang kulihat hanya sebuah salah 
paham. Sosok gadis yang kulihat saat itu adalah adik angkatnya. Adik dari ayahnya yang menikah lagi dengan seorang perempuan janda yang memiliki anak perempuan.

Kebahagiaan yang besar telah diberikan Tuhan untukku. Menjadi satu bagian penting dalam hidupnya. Menjadi satu yang memahaminya. Menjadi satu untuknya. Bukankah itu suatu yang indah?
Menjadikan sosok itu satu di hidupku. Menjadikannya oksigen di setiap napasku. Menjadikannya alasan untuk bertahan ketika duka mendatangiku. Menjadikannya penguat ketika ku rapuh. Menjadikannya tempatku bergantung. Bukankah itu keren?

Mungkin satu yang akan membuatku lelah. Pndangan teman- teman SMP-ku tentang kami. Alasanku jatuh padanya. Alasanku begitu mudah menggantungkan semua padanya. Alasanku bertahan dengannya. Yah, mungkin penjelasan itu yang paling membuatku capek.
***
Panggilan dari Alam menyadarkanku yang masih terpaku pada keindahan pekarangan rumahnya. Memang baru kali ini aku berkunjung ke rumahnya. Biasanya selalu bertemu di tempat kami membuat janji. Yah, nantinya akan ada banyak waktu yang kugunakan untuk lebih mengagumi taman ini. Pikirku.

Dihampirinya diriku, menggandeng tanganku menuju pintu rumahnya. Empat orang memenuhi ruang keluarga. Seorang pria paruh baya dengan wanita yang kurang lebih 4 tahun lebih muda dari pria itu berdiri berdampingan. Pandangannya bingung dengan raut wajah terkejut. Ckck.. Apakah cowok ini tak bercerita dulu pada keluarganya sehingga dirinya mendapatkan tatapan terkejut ini?

Dua orang gadis kecil duduk di sofa. Herin dan Mia. Adik kandung Alam serta adik angkatnya. Tatapan mereka menyelidik. Menatapku seakan ingin tahu apa yang kulakukan di rumahnya.

Aku tersenyum kaku pada mereka. Masih tak terbiasa dengan pandangan- pandangan yang tertuju padaku.
Sebuah genggaman yang tak lepas dariku seakan memberiku keyakinan. Setelah menarik napas dalam- dalam, kuperkenalkan diriku pada keluarga Alam.

“Ah.. Selamat Pagi Tente, Om, Herin, Mia. Hmm..Saya Yoona. Saya....,” Aku diam. Tak sanggung mengucapkan kata yang seharusnya kuucapkan. Kata yang sama seperti yang diucapkannya pada orangtuaku.

“Dia pacarku Ma,Pa,”
Aku menatapnya. Tatapannya selalu yakin. Tak pernah mengandung keraguan sedikitpun. Membuatku merasa iri dengan keyakinan yang selalu dimilikinya.

Tatapan- tatapan itu mulai berganti dengan senyuman. Bahkan kudapati senyuman menggoda dari Mia dan Om Ilham.

“Oh, jadi gadis ini yang sering kamu ceritakan ke Mia?”

Otakku bertanya- tanya. Dia cerita ke Mia tentang aku? Tentang apa nih? Duh, jangan= jangan cerita tantang perselisihan kami waktu masih di SMP?

Alam memberengut kesal. Ditatapnya Mia dengan tajam. Gadis berumur 14 tahun itu hanya tersenyum mengejek pada kakaknya itu.

“Ish.. Mia buat apa sih ceritain itu sama Papa? Kurang kerjaan banget! Sini lo!”

Melihatnya akrab dengan adik- adiknya serta orangtuanya membuatku iri. Aku anak tunggal. Nggak pernah merasakan rasanya punya adik. Mungkin perkenalanku dengannya bisa membuatku merasa seperti memiliki adik.

Suasananya menghangat. Orang tuanya dan adik-adinya ramah. Aku selalu tersenyum mendengar cerita- cerita yang terlontar dari bibir Mia. Teriakan Alam tak jarang keluar ketika Mia akan membocorkan rahasianya tentangku. Dan aku hanya tertawa mengikuti alur cerita ini.
***
Cinta...
Bagaimana mungkin seseorang bisa punya alasan untuk mencinta...
Aku bahkan tak butuh alasan untuk jatuh cinta,,
Aku hanya perlu jatuh cinta...
Tak perlu memikirkan bagaimana cinta itu terbentuk..
Alasan apa yang membenarkanku jatuh pada sosok yang tak kuinginkan...
Karena aku tau..
Apabila alasan cinta terbentuk..
Akan ada lebih banyak alasan untuk menginggalkan cinta...
Aku hanya perlu menjalaninya...
Jika itu memang benar seperti takdir yang telah tertulis...
Dia akan datang padaku..
***
END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar