Jumat, 22 Februari 2013

[Cerpen] Understand, To Love You


Hai Friend... Kali ini akk bakal bagi- bagi cerpen buatanku buat kalian.... Kritik dan saran jangan lupa ya!!! Hope you all enjoy it.... Thank You... Gomapta..


Understand,
To Love You
Langkah kecil terbentuk ketika aku memasuki ruang penuh buku-buku. Buku Pelajaran. Novel. Buku Motivasi. Buku Filsafat. Kamus dengan berbagai Bahasa. Yap. Perpustakaan sekolah yang selalu memancarkan suasana sepi.
Seorang pria sedang menekuni sebuah buku. Membolak- balikkan buku yang dipegangnya sambil sesekali menuliskan sesuatu pada buku tulisnya.
Aku menghampirinya. Berdiri di sebelah kursi yang didudukinya. Dia sama sekali tak menyadari kehadiranku. Dan ini bukan hal baru yang kurasakan. Kenyataan ini sama sekali tak membuat diriku menjadi kesal dan marah layaknya orang yang tidak suka diacuhkan. Inilah pribadinya. Bila materi- materi buku telah masuk dalam matanya hingga berujung pada otaknya, kejadian, orang, ataupun apapun yang ada di sebelahnya akan menjadi bentuk kasat di matanya.
“Rei..,” ucapku sambil menepuk bahunya. Membuatnya sadar akan keberadaanku disampingnya.
Dia hanya menatapku sejenak, kembali menekuni buku yang masih dipegangnya. 1 detik. 2 detik. 3 detik. 1 jam. Aku merasa capek. Aku disampingnya. Namun hanya sebuah “pengabaian” yang kurasakan. Beranjak dari tempatnya untuk meninggalkannya pun bukanlah pilihan yang dapat kulakukan. Rindu. Rasa itulah yang membuatku bertahan dalam keadaan ini. Setelah satu minggu ini dirinya sibuk dengan OSIS, dan kini akhirnya ada waktu senggang yang dimilikinya. Walalupun bukan ia gunakan untuk menemuiku. Tapi jika waktu itu bisa mempertemukanku untuk mengobati rasa rinduku. Lalu apalagi yang kubutuhkan?
Selalu seperti ini. Dia adalah lelaki populer di sekolah. Pintar dan tampan. Siswa kesayangan guru. Apalagi yang kurang darinya. Dingin dan cuek. Satu- satunya alasan yang membuat siswi SMU Altavia enggan mendekatinya. Hanya menjadi sosok pengagumnya.
“Rei...” Panggilku lagi semabil bergelayut di lengan kanannya. Sama sekali tak ada respon darinya atas tindakanku barusan. Menoleh padaku pun tak dilakukannya.
“Rei..Rei..Rei..Rei...” Kupanggil dirinya berulang- ulang. Berharap akan ada sedikit respon atas tindakanku. Tangannya bergerak melepaskan tanganku yang masih menggelayut pada tangannya. Tatapannya yang seakan berkata “jangan menggangguku” kuabaikan.
“Mai. Kau berisik. Ini perpustakaan.,” Ucapnya sambil beranjak meninggalkan kursinya. Memilih kembali beberapa buku- buku referensi untuk mengerjakan tugas Biologinya.
Kuhampiri sosok itu. Berdiri di sebelahnya yang sedang mengambil buku di rak teratas. Tingginya rak tak membuatnya sulit mengambil buku. Tubuhnya tinggi. Tangannya pun bisa mencapainya. Bukan masalah untuknya. Bila itu aku. Akan menjadi sebuah masalah. Tubuhku kecil. Tinggiku pun hanya sebatas bahunya.
“Kalau Cuma mau menggangguku belajar, lebih baik kau pulang saja,”
“Kok gitu? Kita kan udah jadian 2 bulan. Seharusnya sekarang ini masa- masa paling asyik buat kita,”
Egois. Aku merasa egois saat berkata itu. Mementingkan diriku sendiri, tak memikirkan kondisinya.
“Aku perlu belajar. Ini tahun terakhirkudi bangku SMA. Pacaran denganmu bukan berarti aku harus dengan mudahnya mengabaikan waktu belajarku kan! Kau tahu benar resiko berpacaran denganku,” Balasnya.
Aku hanya mendengus pelan. Memanglah kebiasaan bila sedang bersamanya itu selalu seperti ini. Tak pernah layaknya orang pacaran secara normal. Tak ada kata mesra. Tak ada genggaman hangat. Tak ada sebuah perhatian.
Tidak suka. Bukan itu yang kurasakan. Hanya sebuah keinginan akan adanya sedikit perubahan darinya untukku. Setidaknya aku ingin menjalani kehidupan SMA yang menyenangkan bersamanya.
***
Sudah merupakan suatu keberuntungan menjadi bagian dari hidupnya. Tabrakan tubuh yang terjadi 4 bulan lalu membuatku mengenal sosok itu di tahun pertamaku memasuki bangku SMA. Keteledoranku berlari-lari di koridor sekolah membuatnya menjadikanku sosok bodoh yang tak tahu aturan.
Aku kesal. Tentu saja. Siapa yang akan merasa senang dikatakan codoh olehnya? Cowok jahat. Sikapnya dingin lagi. Pikiran- pikiran itu selalu membayangiku.
Perpustakaan pun menjadi tempat keduaku bertemu dengannya. Awalnya memang kesal mengetahui keberadannya di tempat yang sama denganku. Tapi bantuannya saat buku- buku jatuh menimpa kepalaku membuatku berpikir ulang tentangnya. “dia orang baik”. Itulah pikiran yang melintas di benakku.
Cinta. Aku merasa jatuh cinta padanya saat itu juga. Wajahku terasa panas mendengan ucapan- ucapan lembutnya. Kurasa warna merah telah memenuhi wajahku.
Kunyatakan semua perasaan yang kudapat pertama kali ini padanya. Bukan hal mengejutkan bila sebuah penolakan dia ucapkan padaku. Sedih? Sudah pasti itu yang kurasakan.  Namun itu semua tak membuatku merasa bahwa aku siap untuk menyerah. Mungkin inilah semangat First Love yang kurasakan.
Aku mendengar kata- kata yang diucapkannya pada teman sekelasnya. Sakit. Air mataku bahkan serasa ingin keluar dari pelupuk mataku. “Gadis itulah yang berbuat seenaknya”. Dan aku sadar betul apa yang diucapkannya saat itu memang tertuju untukku.
Dia melihatku. Melihatku yang berdiri di depan pintu kelasnya. Aku masih menundukkan kepalaku saat dirinya menghampiri tubuhku. Mencoba menahan air mata yang sudah mendesak ingin segera kukeluarkan. Berhasil. Aku menatapnya dengan mengembangkan sebuah senyuman. Memberikan bekal yang secara rutin kuberikan padanya.
Dia menatapku nanar. Aku tahu dia merasa bersalah padaku. Diraihnya tanganku. Genggaman hangat darinya membuatku salah tingkah. Ucapan yang keluar pertama kali dari mulutnya setelah melihat keberadaanku membuatku membeku tak percaya.
“Kalau kau tak menggangguku belajar, boleh saja kita jadian,”
***
Sosok itu masih berdiri di samping rak- rak buku yang berisi kumpulan buku Biologi. Matanya bergerak-gerak ke kiri-kanan. Fokus pada apa yang kini tengah dibacanya. Tangannya membolak-balikkan lembaran- lembaran buku itu. Mencari materi yang bisa dimasukkan dalam tugasnya.
Memperhatikannya menjadi hobi baruku 2 bulan ini. Bukan hanya karena statusku yang kini bukan single lagi karenanya, namun juga karena fokus mataku yang selalu tertuju padanya. Bukan menjadi kemauanku menjadi seseorang yang bisa disebut stalkernya, tapi entah alasan logis apa yang bisa membenarkan apa yang kulakukan. Sejak saat pertemuan kedua, ia telah terpatri menjadi sebuah fokus dimataku.
“Jangan memandangku seperti itu. Kau membuatku merasa akan menjadi makananmu,”
“Yak!! Kau membuatku terlihat seperti seorang monster yang akan memakanmu,”
“Bukankah memang seperti itu?”
“Tubuhku yang seperti ini bagaimana mungkin bisa memakanmu. Memakan kepalamu saja aku ngga akan sanggup,”
“Yah, siapa tau?”
Bibirnya tertarik kebelakang. Membentuk sebuah senyuman geli yang jarang diperlihatkannya. Tubuhku menegak seketika. Memperhatikan senyum yang sampai kini masih terukir di wajahnya. Sangat tampan. Yap. Kesan itu selalu datang saat senyumnya mengembang. Aku bahkan tak bisa mengendalikan otakku yang selalu berusaha menyimpan sosok itu dalam benakku. Puluhan senyuman yang tersimpan di otakku seakan tak cukup untukku.
Sosok itu merubah raut mukanya beberapa menit kemudian. Menghilangkan lengkungan bibir yang tadi tercipta. Sosok itu? Kenapa begitu mudah merubah raut muka?
“Sudah cukup kau menggangguku hari ini. Lihatlah! Sudah mulai petang! Sebagiknya kau pulang,” ucapnya sambil beranjak menuju jendela. Membuka tirai yang sedari tadi menutup ruangan dari dunia luar. Waktu memang sudah beranjak sore. Matahari telah merubah warnanya menjadi jingga.
“Oke. Tapi Rei... bukankah besok Hari Minggu?”
“Hmm,”
“Kalau begitu waktumu pasti sedang luang kan!”
“Hmm,”
“Bisa tidak kalau besok kita pergi jalan- jalan? Besok ada pesta kembang api di Sungai Han,”
“...”
“Ayolah Rei... Please...!”
“Hmm.. Oke,”
“Kau menjemputku kan?”
“Iya..iya...”
“Makasih Rei,” ucapku sambil memeluk tubuhnya sekilas. Senyum kebahagiaan terpancar di wajahku.
“Iya... sudah, pulang sana!”
***
Aku mematut tubuhku di depan kaca. Sebuah dress dengan panjang mencapai lutut terpasang di tubuhku. Rambut panjangkuku kubiarkan tergerai dengan sebuah jepitan kecil menghimpit poniku. Riasan tipis kupoleskan untuk membuat kesan fresh di wajahku.
“Hmm.. sempurna,”
Aku memutar tubuhku. Memastikan kembali penampilanku hari ini akan membuatnya terkejut. Yap. Ini memang bukan pribadiku yang biasanya. Aku perempuan yang sedikit tomboy. Jarang memang aku memakai kain yang berupa rok. Hanya celana jeans yang selalu kupadukan dengan kaos ataupun kemeja.
Pukul 16.00 WIB. Waktu janjian yang kami sepakati beberapa jam lalu melalui sms. Memang sih acara kembang api akan diadakan malam hari. Tapi bukankah wajar bila pasangan itu menghabiskan waktu bersama lebih banyak?
Jarum jam terus bergerak. Menunjukkan tanda- tanda perpindahan waktu. Kulirik jam yang terpasang di dinting rumahku. 18.99 WIB. Bukankah ini sudah 2 jam lebih dari waktu janjian? Aku bahkan semoat tertidur. Apakah sia lupa?
Kuambil telepon genggang yang ada di tas selempangku. Kupencet nomor sembilan di handphoneku. Nomor kesukaanku yang menjadi panggilan cepat untuknya.
“Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar area....”
Segera saja kupencet tombol merah dihapeku. Mematikan panggilan yang baru saja kulakukian. Aku memang merasa kesal, namun aku juga merasa sedikit khawatir. Tidak biasanya dia mematikan handphone-nya. Lagipula, meskipun mungkin sedang kesal denganku, dia selalu menjawab teleponku.
Aku memasukkan hendphone-ku ke dalam tas selempangku dan berlari keluar rumah. Memang sedikit sulit berlari dengan pakaian ini. Tapi aku akan lebih sulit lagi bila tak segera mengetahui kondisinya.
Rumahnya tak begitu jauh dari rumahku. Hanya beberapa blok aku akan tiba di rumahnya. Langkahku kuperlambat ketika rumah dengan pagar bercat hijau telah ada di depan mataku. Aku melangkah pelan padanya. Mengharapkan beberapa pikiran buruk yang melintas di benakku tak terjadi.
Bel pintu telah kubunyikan. Tak ada suara dari dalam sana. Hanya kesunyian yang ada. Seolah rumah itu tak berpenghuni. Memang, Rei tinggal sendirian saat ini. Orang tuanya pergi ke rumah neneknya. Bila Rei tak ada di rumah, bukankah memang rumah ini akan menjadi sunyi?
Menunggu bukan sesuatu yang kusenangi. Tapi untuknya aku selalu bisa melakukan itu. Hatiku tak bisa, namun kenyataan yang telah kulakukan sejak keberadaannya membuatku merasa yakin bila aku harus selalu menunggu untuknya.
1 jam telah kulewati sendiri di depan rumahnya. Pikiran- pikiran buruk pun tak hentinya mengelilingi benakku. Khawatir? Tentunya. Meskipun jarang saling berkomunikasi, dia selalu memberi kabar walau hanya sesuatu yang singkat.
19.30 WIB. Sidah terlalu malam untukku berkeliaran di malam hari. Jam malamku memang masih lama. Tapi pergi malam- malam sendirian seperti ini membuatku sedikit takut.
Aku berjalan meninggalkan rumahnya. Mungkin dia memang sedang ada kepentingan yang mendesak. Besok pasti akan menghubungiku. Pikiran-pikiran positif segera kupaksakan masuk dalam otakku. Menghapus sebagian kecil pikiran negatif yang telah terbentuk.
Taman terlihat begitu gelap. Walaupun lampu- lampu taman disekelilingnya menyumbangkan cahaya untuknya, namun tak membuat taman itu terlihat seindah ketika melihatnya di pagi hari. Taman ini. Taman ini adalah tempat yang sering kukunjungi bersamanya setelah perpustakaan sekolah yang menjadi tempat nomor satu yang sering kami kunjungi.
Siluet tubuh tiba- tiba terlihat di balik gelapnya taman. Seorang lelaki. Dan aku sangat mengenal siluet tubuh itu. Tubuh seseorang yang selalu menemaniku 2 bulan ini. Rei. Aku mencoba mendekatinya perlahan. Meminimaliris terbentuknya bunyi untuk mencoba membuatnya terkejut dengan keberadaanku.
Mulutku ternganga dan air mataku perlahan turun ketika melihatnya mendekap tubuh yang ada di depannya. Sosok seorang gadis. Kulihat dirinya seolah sedang mencoba menenangkan gadis yang juga sedang berurai air mata. Tubuhku membeku melihatnya. Tak mampu bergerak maju untuk memukulnya ataupun meninggalkan kejadian yang kulihat dengan mata kepalaku.
Sakit. Hatiku terasa sangat sakit. Bagaimana mungkin dia bersikap begitu lembut dengan gadis lain, sementara denganku yang ditunjukkannya hanya sikap dingin dan cueknya. Bagaimana mungkin dia memeluk gadis lain sementara tak pernah ada pelukan darinya untukku. Selalu aku yang memeluknya. Bagaimana mungkin dia dengan mudahnya membiarkan tangannya memeluk gadis itu, sedangkan genggaman tangannya tak pernah ada untukku.
Kakiku terasa berat saat aku memutuskan untuk meninggalkan taman ini. Sebuah bunyi ranting yang kuinjak menyadarkan 2 tubuh yang saling berpelukan itu pada kedatanganku. Keduanya melepaskan pelukan mereka buru- buru. 2 pasang mata manatapku. Memandangku dengan pandangan yang aneh. Memastikan kondisiku atas apa yang kulihat barusan.
Aku berlari meninmggalkan taman. Tak peduli dengan sosok- sosok yang mengejarku di belakang. Tak peduli dengan teriakan mereka yang memintaku mendengarkan penjelasannya. Tak peduli pada apapun yang mereka lakukan. Hanya peduli pada hatiku yang terasa sakit.
Kurasa aku memang membuatnya terkejut. Namun bukan suatu keterkejutan yang kuinginkan. Bukan karena kejutan yang kupersiapkan untuknya. Namun suatu keterkejutan yang membuatku merasakan suatu kekecewaan.
***
Ruangan ini terasa berisik karena isak tangis yang sedari tadi keluar dari mulutku. Butiran- butiran bening tak dapat berhenti mengalir sedari tadi. Kuarahkan tanganku di atas dadaku. Jantungku berdegup dengan kencang. Bukan dalam artian baik. Bukan seperti ketika aku sedang bersamanya. Sakit. Sangat sakit.
Dia. Gadis yang ada dalam pelukannya bukanlah orang asing baru saja kukenal. Aku mengenalnya sebagaimana dia mengenalku. Aku bersamanya bukan dalam waktu yang singkat. Sahabat. Itulah hubungan kami selama ini. Dia tahu benar apa yang kulakukan hingga akhirnya aku bisa bersama dengan orang yang kusuka. Dia tahu benar bagaimana beratnya ketika aku hanya mendapat sikap cuek darinya. Dia tahu benar berapa banyak waktu yang kusia- siakan hanya untuk menatapnya, menemaninya, dan berada di sampingnya. Bagaimana ini bisa terjadi?
Sahabat makan teman. Itukah yang saat ini sedang kualami? Sama sekali tak pernah terlintas pemikiran seperti itu dalam benakku. Aku mengenalnya. Bukankah waktu 3 tahun bukan waktu yang sebentar?
Kulangkahkan kakiku menuju jendela rumahku. Kusingkirkan tirai yang menutupiku dari langit malam. Gelap. Malam ini terasa lebih gelap dari malam- malam sebelumnya. Tak ada sinar bintang dan rembulan yang bersinar di atas langit. Hanya ada sebuah kegelapan. Seperti gelapnya hatiku saat ini.
Kuhembuskan napasku keras- keras. Mencoba menormalkan laju pernapasanku yang terasa semakin berat. Pikiranku melayang ke masa lalu. Masa dimana aku baru menjadi kekasih Rei. Memang bukan waktu yang lama. Hanya 2 bulan. Dan kenangan indah yang kami punya pun hanya bisa dihitung oleh jari- jari dalam satu telapak tangan. Akankah semua ini berakhir hanya dalam 2 bulan?
***
Langkah kakiku terasa berat, sama seperti kelopak mataku yang semakin memberat. Kemarin malam hanya kuhabiskan dengan menangis. Tak ada kata tidur nyenyak. Tidurku selalu dipenuhi dengan kerisauan.
Sulit. Aku merasa sulit memasuki kelas yang 4 bulan lebih ini kuhuni. Pintu kelas terbuka, memperlihatkan sosok Rei yang baru saja keluar dari kelasku. Tatapannya sendu? Menyesalkah?
Kuabaikan sosoknya yang hanya berdiri diam di ambang pintu. Bergerak memasuki kelas dengan tanpa mencoba kembali menatapnya. Bangkuku telah berpenghuni. Seseorang yang sejak dulu duduk denganku menghuninya. Kuambil tempat di bangku kosong yang terletak jauh dari bangku itu. Duduk sebangku dengan Roni.
“Kenapa duduk sini?”
“Ngga apa- apa? Nggak boleh?”
“Yah, boleh- boleh saja sih... tapi bukannya biasanya lo selalu duduk sama si Febri?”
“Lagi nggak pengen,”
“Berantem nih?”
“Yak! Bukan urusan lo tau!”
***
Memuakkan. Menyedihkan. Itulah kesan yang kudapat sekarang ini tentang diriku sendiri. Rasanya begitu berat. Entah yang terbaik mendengarkan apa yang terjadi atau mempercayai penglihatanku. Hatiku semakin terasa berat dari hari ke hari. Perasaanku tidak menentu.
Bukan sekali dua kali Febri mendekatiku. Mencoba menjelaskan apa yang membuatku luka. Tak jarang handphoneku berdering. Memunculkan nama yang kuhindari akhir- akhir ini. Rei. Baru sekarang kamu meneleponku berkali- kali, Rei. Pikirku setiap mendapati handphoneku yang memainkan lagu “I HATE YOU” FT Island. Lagu itu kupasangkan secara khusus untuknya. Menggambarkan keinginanku untuk membencinya, walau kenyataannya sampai saat ini pun aku masih belum bisa membencinya.
Aku menatap langit- langit kamarku. Sebuah lampu bercahaya putih terpasang menyinari ruang ini. Memberikan sedikit cahaya di tengah kegelapan kamar yang telah kutempati sepanjang hidupku.
Sebuah pemikiran tiba- tiba terlintas di benakku. Aku harus segera mengakhirinya. Menyelesaikan apa yang seharusnya segera kuselesaikan, bukan menghindarinya yang malah membuat beban pikiranku bertambah.
Sudah seminggu lebih aku ditengah hubungan yang tidak pasti. Putus? Jadian? Entahlah. Semua tak bisa dipastikan bila aku tetap menghindar dari apa yang seharusnya terjadi. Besok akan menjadi penentu. Bila memang sudah tidak mungkin, aku harus segera mengakhirinya. Bukan hobiku menjadi wanita kedua. Bukan hobiku menerima segala tusukan luka. Bukan hobiku menjadi seorang pemaksa. Toh, aku masih bisa menemukan cinta yang lain bila dia memang bukan untukku.
Air mata tiba- tiba mengalir lagi di pipiku. Sampai kapan air mata ini akan terus mengucur? Sampai kapan aku harus melepaskan segala cadangan air mataku. Seminggu ini. Ya. Seminggu ini tak pernah kuhabiskan dengan tanpa air mata. Selalu ada air mata yang mendesak keluar.
Meskipun tekadku memastikan akan bisa mengakhiri ini semua, namun tidak dengan hatiku. Berat. Sungguh benar- benar berat. Melepaskan orang yang kusukai pada sahabatku sendiri bukan hal yang mudah. Tapi apa daya jika dia memang bukan orang yang menjadi takdirku. Mia. Kamu harus kuat. Kamu gadis yang tangguh. Kamu bisa. Kata- kata penyemangat masuk ke otakku. Memberikanku sedikit penguat agar bisa bertahan. Ya. Aku harus bisa.
***
Dua orang tengah berdiri di depanku. Raut wajahnya terlihat khawatir. Entah khawatir tentangku ataupun tentang hubungan mereka. Aku tak mengerti. Dua orang ini sedari tadi hanya tutup mulut. Membiarkanku membuka percakapan pertama setelah hari itu.
“Jadi, apakah memang harus berakhir?”
Air mata yang kutahan sejak melihat mereka melangkah bersama ke arahku mulai mendesak keluar. Kutadahkan wajahku ke atas. Berharap air bening ini menghentikan niatnya untuk mengeliri pipiku. Tidak mau terlihat lemah di mata keduanya.
“Tidak,” Aku mendengus pelan mendengar ucapannya. “Tidak” dia bilang? Lalu apa yang harus kulakukan?
“Tidak? Setelah semua ini kau bilang “tidak”?? Hahh.. kau membuatku ingin tertawa,” aku menatapnya sinis. Yap. Inilah yang bisa kulakukan agar aku bisa terlihat kuat dihadapannya. Aku bukan wanita lemah.
“Kau salah paham, Mia,” gadis itu mulai memperdengarkan suaranya.
“Salah paham? Alasan apa yang membuat itu terlihat seperti salah paham, hah?” emosiku keluar. Entah kenapa perasaanku menjadi tidak stabil. Marah. Sedih. Kesal.
“Sudahlah, Febri. Kau pergi saja dari sini. Biar aku yang menjelaskan padanya,” Ucapnya. Lihat, bahkan dia bisa begitu lembut pada Febri. Apa yang membuat itu terlihat salah paham sedangkan kenyataan menunjukkan kalau ini adalah nyata. Real.
Febri meninggalkan taman –tempat yang kami gunakan untuk berbicara- yang menjadi kenanganku dengannya. Matanya terlihat sedikit membengkak. Apakah ia juga menangis? Untuk apa? Menyesal? Huh, benarkah?
“Kau benar- benar salah paham, Mei,”
“Alasan apa yang membuat itu bukan suatu kebenaran? Aku melihatnya dengan jelas. Dengan MATA KEPALAku sendiri,”
“Kau hanya melihat. Kau tidak mendengar. Kau tidak mengerti apa yang terjadi!”
“Hah? Kau ingin membuatku mendengarkan apa yang kau bicarakan dengannya? Kau ingin membuatku mendengarkan nada lembutmu padanya? Baik. Aku SUDAH mendengarnya. Apalagi yang harus kudengar?”
Dia mendesah berat. Masih dengan mata yang tertuju padaku, dia melangkah mendekat padaku. Mengulurkan tangannya untuk merengkuh tubuhku. Diam. Ya. Aku hanya diam. Ini pertama kalinya sebuah pelukan diberikannya untukku. Air mata yang sejak tadi masih bisa kutahan, mulai memunculkan kembali niatnya untuk mengalir di pipiku. Isakan tangis keluar dari mulutku. Tak sanggup menahan rasa aneh yang menjalari seluruh tubuhku.
“Kau jahat Rei. Kau membuatku jatuh padamu. Kau membuatku hanya menatapmu. Tapi kau memberikanku tusukan- tusukan luka. Ini sakit Rei. Kau jahat!” kupukul- pukul dada bidangnya. Melepaskan perasaan marah yang tak pernah bisa kulampiaskan pada siapapun.
“Kau salah paham, Mei,” Ucapnya lembut. Dituntunnya tubhku di sebuah bangku panjang yang ada di taman itu. Dituntunnya tubuhku untuk jatuh terduduk di sebelahnya. Lalu membawa tanganku dalam genggamannya. Hangat. Tangan besar itu terasa hangat di tanganku.
“Aku tahu aku salah. Waktu itu aku melihat Ega –kekasih Febri- kecelakaan. Kau pasti tidak tau kalau Febri punya pacar. Kau kan selalu menempeliku,”
“...” aku diam. Namun mendengar ucapannya, aku tahu aku memang salah dalam hal itu.
“Aku kenal Egi. Dia sahabatku. Yah, bukan di sekolah kita. Dia teman akrabku waktu masih SMP,”
“Hmm..”
“Aku tidak sengaja melihat kecelakaan itu ketika aku akan pergi ke rumahmu. Tidak mungkin kan aku mengabaikannya?”
“Hmm,”
“Aku membawanya ke rumah sakit. Kondisinya parah. Bahkan tingkat kesadarannya pun sangat rendah. Dia bilang, kalau dia janji pada seseorang akan menemuinya di taman. Saat itulah aku tau bahwa dia adalah Febri temanmu,”
“Hmm,”
“Aku menemuinya. Memberitahukan padanya tentang kondisi Ega. Dia nangis. Tiba- tiba aja dia udah memelukku. Aku sama sekali nggak berniat memeluknya.”
“Tapi kenapa kau ngga meneleponku?”
“HP-ku mati. Aku lupa men-charge nya,”
“Kenapa kau membelai- belai rambutnya kalau memang tidak berniat memeluknya? Kenapa kata- katamu terdengar lembut? Kenapa.....”
“Ssstt.. kau ngga perlu khawatir. Itu kan bukan berarti aku menyukainya. Aku hanya...”
“Rei....” kupeluk tubuhnya. Kaku. Mungkin tubuhnya terasa kaku karena terkejut denganku yang tiba- tiba saja memeluknya. Perlahan tangannya membalas pelukanku. Kelembutan inilah yang selalu kuinginkan darinya.
“Ssstt.. jadi jangan cemburu lagi. Oke?”
“Hmm.. Rei, apa yang tadi mau kau ucapin?”
“Ah.. Itu? Nggak ada kok!” ucapnya sambil melepaskan tangannya dari pelukanku. Dialihkannya wajahnya pada arah lain. Aku memandangnya curiga.
“Apaan?” tanyaku penasaran.
“Bukan apa- apa!”
“Apaan sih Rei?”
“Oke..oke.. Satu kali. Aku hanya akan berkata satu kali jadi dengarkan baik- baik,”
“Iya,”
“Saranghae. I love You. Aishiteru,” ucapnya yang membuatku melongo. Benarkah ini kenyataan?
“Jinnjja -benarkah-?”
“Ya,”
Kupeluk erat tubuhnya lagi. Senyuman mengembang di bibirku. Akhirnya datang juga kata itu. Kata yang selalu kutunggu- tunggu. Kata yang tak pernah kuduga akan keluar dari mulutnya. Bahagia. Aku benar- benar bahagia.
Tangannya bergerak membalas pelukanku. Membiarkanku merasakan hangat tubuhnya. Membiarkanku merasakan perasaan lega atas apa yang terjadi.
“Nado.. Nado Saranghae,”
***
END


By    : AFFI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar