Hai Friend... Kali ini akk bakal bagi- bagi cerpen buatanku buat kalian.... Kritik dan saran jangan lupa ya!!! Hope you all enjoy it.... Thank You... Gomapta..
Understand,
To Love You
Langkah
kecil terbentuk ketika aku memasuki ruang penuh buku-buku. Buku Pelajaran.
Novel. Buku Motivasi. Buku Filsafat. Kamus dengan berbagai Bahasa. Yap.
Perpustakaan sekolah yang selalu memancarkan suasana sepi.
Seorang pria
sedang menekuni sebuah buku. Membolak- balikkan buku yang dipegangnya sambil
sesekali menuliskan sesuatu pada buku tulisnya.
Aku
menghampirinya. Berdiri di sebelah kursi yang didudukinya. Dia sama sekali tak
menyadari kehadiranku. Dan ini bukan hal baru yang kurasakan. Kenyataan ini
sama sekali tak membuat diriku menjadi kesal dan marah layaknya orang yang
tidak suka diacuhkan. Inilah pribadinya. Bila materi- materi buku telah masuk
dalam matanya hingga berujung pada otaknya, kejadian, orang, ataupun apapun
yang ada di sebelahnya akan menjadi bentuk kasat di matanya.
“Rei..,”
ucapku sambil menepuk bahunya. Membuatnya sadar akan keberadaanku disampingnya.
Dia hanya
menatapku sejenak, kembali menekuni buku yang masih dipegangnya. 1 detik. 2 detik.
3 detik. 1 jam. Aku merasa capek. Aku disampingnya. Namun hanya sebuah
“pengabaian” yang kurasakan. Beranjak dari tempatnya untuk meninggalkannya pun
bukanlah pilihan yang dapat kulakukan. Rindu. Rasa itulah yang membuatku
bertahan dalam keadaan ini. Setelah satu minggu ini dirinya sibuk dengan OSIS, dan
kini akhirnya ada waktu senggang yang dimilikinya. Walalupun bukan ia gunakan
untuk menemuiku. Tapi jika waktu itu bisa mempertemukanku untuk mengobati rasa
rinduku. Lalu apalagi yang kubutuhkan?
Selalu
seperti ini. Dia adalah lelaki populer di sekolah. Pintar dan tampan. Siswa
kesayangan guru. Apalagi yang kurang darinya. Dingin dan cuek. Satu- satunya
alasan yang membuat siswi SMU Altavia enggan mendekatinya. Hanya menjadi sosok
pengagumnya.
“Rei...”
Panggilku lagi semabil bergelayut di lengan kanannya. Sama sekali tak ada
respon darinya atas tindakanku barusan. Menoleh padaku pun tak dilakukannya.
“Rei..Rei..Rei..Rei...”
Kupanggil dirinya berulang- ulang. Berharap akan ada sedikit respon atas
tindakanku. Tangannya bergerak melepaskan tanganku yang masih menggelayut pada
tangannya. Tatapannya yang seakan berkata “jangan menggangguku” kuabaikan.
“Mai. Kau
berisik. Ini perpustakaan.,” Ucapnya sambil beranjak meninggalkan kursinya.
Memilih kembali beberapa buku- buku referensi untuk mengerjakan tugas
Biologinya.
Kuhampiri
sosok itu. Berdiri di sebelahnya yang sedang mengambil buku di rak teratas.
Tingginya rak tak membuatnya sulit mengambil buku. Tubuhnya tinggi. Tangannya
pun bisa mencapainya. Bukan masalah untuknya. Bila itu aku. Akan menjadi sebuah
masalah. Tubuhku kecil. Tinggiku pun hanya sebatas bahunya.
“Kalau Cuma
mau menggangguku belajar, lebih baik kau pulang saja,”
“Kok gitu?
Kita kan udah jadian 2 bulan. Seharusnya sekarang ini masa- masa paling asyik
buat kita,”
Egois. Aku
merasa egois saat berkata itu. Mementingkan diriku sendiri, tak memikirkan
kondisinya.
“Aku perlu
belajar. Ini tahun terakhirkudi bangku SMA. Pacaran denganmu bukan berarti aku
harus dengan mudahnya mengabaikan waktu belajarku kan! Kau tahu benar resiko
berpacaran denganku,” Balasnya.
Aku hanya
mendengus pelan. Memanglah kebiasaan bila sedang bersamanya itu selalu seperti
ini. Tak pernah layaknya orang pacaran secara normal. Tak ada kata mesra. Tak
ada genggaman hangat. Tak ada sebuah perhatian.
Tidak suka.
Bukan itu yang kurasakan. Hanya sebuah keinginan akan adanya sedikit perubahan
darinya untukku. Setidaknya aku ingin menjalani kehidupan SMA yang menyenangkan
bersamanya.
***
Sudah
merupakan suatu keberuntungan menjadi bagian dari hidupnya. Tabrakan tubuh yang
terjadi 4 bulan lalu membuatku mengenal sosok itu di tahun pertamaku memasuki
bangku SMA. Keteledoranku berlari-lari di koridor sekolah membuatnya
menjadikanku sosok bodoh yang tak tahu aturan.
Aku kesal.
Tentu saja. Siapa yang akan merasa senang dikatakan codoh olehnya? Cowok jahat.
Sikapnya dingin lagi. Pikiran- pikiran itu selalu membayangiku.
Perpustakaan
pun menjadi tempat keduaku bertemu dengannya. Awalnya memang kesal mengetahui
keberadannya di tempat yang sama denganku. Tapi bantuannya saat buku- buku
jatuh menimpa kepalaku membuatku berpikir ulang tentangnya. “dia orang baik”.
Itulah pikiran yang melintas di benakku.
Cinta. Aku
merasa jatuh cinta padanya saat itu juga. Wajahku terasa panas mendengan
ucapan- ucapan lembutnya. Kurasa warna merah telah memenuhi wajahku.
Kunyatakan
semua perasaan yang kudapat pertama kali ini padanya. Bukan hal mengejutkan
bila sebuah penolakan dia ucapkan padaku. Sedih? Sudah pasti itu yang
kurasakan. Namun itu semua tak membuatku
merasa bahwa aku siap untuk menyerah. Mungkin inilah semangat First Love yang
kurasakan.
Aku
mendengar kata- kata yang diucapkannya pada teman sekelasnya. Sakit. Air mataku
bahkan serasa ingin keluar dari pelupuk mataku. “Gadis itulah yang berbuat
seenaknya”. Dan aku sadar betul apa yang diucapkannya saat itu memang tertuju
untukku.
Dia
melihatku. Melihatku yang berdiri di depan pintu kelasnya. Aku masih
menundukkan kepalaku saat dirinya menghampiri tubuhku. Mencoba menahan air mata
yang sudah mendesak ingin segera kukeluarkan. Berhasil. Aku menatapnya dengan
mengembangkan sebuah senyuman. Memberikan bekal yang secara rutin kuberikan
padanya.
Dia
menatapku nanar. Aku tahu dia merasa bersalah padaku. Diraihnya tanganku.
Genggaman hangat darinya membuatku salah tingkah. Ucapan yang keluar pertama
kali dari mulutnya setelah melihat keberadaanku membuatku membeku tak percaya.
“Kalau kau
tak menggangguku belajar, boleh saja kita jadian,”
***
Sosok itu
masih berdiri di samping rak- rak buku yang berisi kumpulan buku Biologi.
Matanya bergerak-gerak ke kiri-kanan. Fokus pada apa yang kini tengah
dibacanya. Tangannya membolak-balikkan lembaran- lembaran buku itu. Mencari
materi yang bisa dimasukkan dalam tugasnya.
Memperhatikannya
menjadi hobi baruku 2 bulan ini. Bukan hanya karena statusku yang kini bukan
single lagi karenanya, namun juga karena fokus mataku yang selalu tertuju
padanya. Bukan menjadi kemauanku menjadi seseorang yang bisa disebut
stalkernya, tapi entah alasan logis apa yang bisa membenarkan apa yang
kulakukan. Sejak saat pertemuan kedua, ia telah terpatri menjadi sebuah fokus
dimataku.
“Jangan
memandangku seperti itu. Kau membuatku merasa akan menjadi makananmu,”
“Yak!! Kau
membuatku terlihat seperti seorang monster yang akan memakanmu,”
“Bukankah
memang seperti itu?”
“Tubuhku
yang seperti ini bagaimana mungkin bisa memakanmu. Memakan kepalamu saja aku
ngga akan sanggup,”
“Yah, siapa
tau?”
Bibirnya
tertarik kebelakang. Membentuk sebuah senyuman geli yang jarang
diperlihatkannya. Tubuhku menegak seketika. Memperhatikan senyum yang sampai
kini masih terukir di wajahnya. Sangat tampan. Yap. Kesan itu selalu datang
saat senyumnya mengembang. Aku bahkan tak bisa mengendalikan otakku yang selalu
berusaha menyimpan sosok itu dalam benakku. Puluhan senyuman yang tersimpan di
otakku seakan tak cukup untukku.
Sosok itu
merubah raut mukanya beberapa menit kemudian. Menghilangkan lengkungan bibir
yang tadi tercipta. Sosok itu? Kenapa begitu mudah merubah raut muka?
“Sudah cukup
kau menggangguku hari ini. Lihatlah! Sudah mulai petang! Sebagiknya kau
pulang,” ucapnya sambil beranjak menuju jendela. Membuka tirai yang sedari tadi
menutup ruangan dari dunia luar. Waktu memang sudah beranjak sore. Matahari
telah merubah warnanya menjadi jingga.
“Oke. Tapi
Rei... bukankah besok Hari Minggu?”
“Hmm,”
“Kalau
begitu waktumu pasti sedang luang kan!”
“Hmm,”
“Bisa tidak
kalau besok kita pergi jalan- jalan? Besok ada pesta kembang api di Sungai
Han,”
“...”
“Ayolah
Rei... Please...!”
“Hmm.. Oke,”
“Kau
menjemputku kan?”
“Iya..iya...”
“Makasih
Rei,” ucapku sambil memeluk tubuhnya sekilas. Senyum kebahagiaan terpancar di
wajahku.
“Iya...
sudah, pulang sana!”
***
Aku mematut
tubuhku di depan kaca. Sebuah dress dengan panjang mencapai lutut terpasang di
tubuhku. Rambut panjangkuku kubiarkan tergerai dengan sebuah jepitan kecil
menghimpit poniku. Riasan tipis kupoleskan untuk membuat kesan fresh di wajahku.
“Hmm..
sempurna,”
Aku memutar
tubuhku. Memastikan kembali penampilanku hari ini akan membuatnya terkejut.
Yap. Ini memang bukan pribadiku yang biasanya. Aku perempuan yang sedikit
tomboy. Jarang memang aku memakai kain yang berupa rok. Hanya celana jeans yang
selalu kupadukan dengan kaos ataupun kemeja.
Pukul 16.00
WIB. Waktu janjian yang kami sepakati beberapa jam lalu melalui sms. Memang sih
acara kembang api akan diadakan malam hari. Tapi bukankah wajar bila pasangan
itu menghabiskan waktu bersama lebih banyak?
Jarum jam
terus bergerak. Menunjukkan tanda- tanda perpindahan waktu. Kulirik jam yang
terpasang di dinting rumahku. 18.99 WIB. Bukankah ini sudah 2 jam lebih dari
waktu janjian? Aku bahkan semoat tertidur. Apakah sia lupa?
Kuambil telepon
genggang yang ada di tas selempangku. Kupencet nomor sembilan di handphoneku.
Nomor kesukaanku yang menjadi panggilan cepat untuknya.
“Nomor yang
anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar area....”
Segera saja
kupencet tombol merah dihapeku. Mematikan panggilan yang baru saja kulakukian.
Aku memang merasa kesal, namun aku juga merasa sedikit khawatir. Tidak biasanya
dia mematikan handphone-nya. Lagipula, meskipun mungkin sedang kesal denganku,
dia selalu menjawab teleponku.
Aku
memasukkan hendphone-ku ke dalam tas selempangku dan berlari keluar rumah.
Memang sedikit sulit berlari dengan pakaian ini. Tapi aku akan lebih sulit lagi
bila tak segera mengetahui kondisinya.
Rumahnya tak
begitu jauh dari rumahku. Hanya beberapa blok aku akan tiba di rumahnya.
Langkahku kuperlambat ketika rumah dengan pagar bercat hijau telah ada di depan
mataku. Aku melangkah pelan padanya. Mengharapkan beberapa pikiran buruk yang
melintas di benakku tak terjadi.
Bel pintu
telah kubunyikan. Tak ada suara dari dalam sana. Hanya kesunyian yang ada.
Seolah rumah itu tak berpenghuni. Memang, Rei tinggal sendirian saat ini. Orang
tuanya pergi ke rumah neneknya. Bila Rei tak ada di rumah, bukankah memang
rumah ini akan menjadi sunyi?
Menunggu
bukan sesuatu yang kusenangi. Tapi untuknya aku selalu bisa melakukan itu.
Hatiku tak bisa, namun kenyataan yang telah kulakukan sejak keberadaannya
membuatku merasa yakin bila aku harus selalu menunggu untuknya.
1 jam telah
kulewati sendiri di depan rumahnya. Pikiran- pikiran buruk pun tak hentinya
mengelilingi benakku. Khawatir? Tentunya. Meskipun jarang saling berkomunikasi,
dia selalu memberi kabar walau hanya sesuatu yang singkat.
19.30 WIB.
Sidah terlalu malam untukku berkeliaran di malam hari. Jam malamku memang masih
lama. Tapi pergi malam- malam sendirian seperti ini membuatku sedikit takut.
Aku berjalan
meninggalkan rumahnya. Mungkin dia memang sedang ada kepentingan yang mendesak.
Besok pasti akan menghubungiku. Pikiran-pikiran positif segera kupaksakan masuk
dalam otakku. Menghapus sebagian kecil pikiran negatif yang telah terbentuk.
Taman
terlihat begitu gelap. Walaupun lampu- lampu taman disekelilingnya
menyumbangkan cahaya untuknya, namun tak membuat taman itu terlihat seindah
ketika melihatnya di pagi hari. Taman ini. Taman ini adalah tempat yang sering
kukunjungi bersamanya setelah perpustakaan sekolah yang menjadi tempat nomor
satu yang sering kami kunjungi.
Siluet tubuh
tiba- tiba terlihat di balik gelapnya taman. Seorang lelaki. Dan aku sangat
mengenal siluet tubuh itu. Tubuh seseorang yang selalu menemaniku 2 bulan ini.
Rei. Aku mencoba mendekatinya perlahan. Meminimaliris terbentuknya bunyi untuk
mencoba membuatnya terkejut dengan keberadaanku.
Mulutku
ternganga dan air mataku perlahan turun ketika melihatnya mendekap tubuh yang
ada di depannya. Sosok seorang gadis. Kulihat dirinya seolah sedang mencoba
menenangkan gadis yang juga sedang berurai air mata. Tubuhku membeku
melihatnya. Tak mampu bergerak maju untuk memukulnya ataupun meninggalkan
kejadian yang kulihat dengan mata kepalaku.
Sakit.
Hatiku terasa sangat sakit. Bagaimana mungkin dia bersikap begitu lembut dengan
gadis lain, sementara denganku yang ditunjukkannya hanya sikap dingin dan
cueknya. Bagaimana mungkin dia memeluk gadis lain sementara tak pernah ada
pelukan darinya untukku. Selalu aku yang memeluknya. Bagaimana mungkin dia
dengan mudahnya membiarkan tangannya memeluk gadis itu, sedangkan genggaman
tangannya tak pernah ada untukku.
Kakiku
terasa berat saat aku memutuskan untuk meninggalkan taman ini. Sebuah bunyi
ranting yang kuinjak menyadarkan 2 tubuh yang saling berpelukan itu pada
kedatanganku. Keduanya melepaskan pelukan mereka buru- buru. 2 pasang mata
manatapku. Memandangku dengan pandangan yang aneh. Memastikan kondisiku atas
apa yang kulihat barusan.
Aku berlari
meninmggalkan taman. Tak peduli dengan sosok- sosok yang mengejarku di
belakang. Tak peduli dengan teriakan mereka yang memintaku mendengarkan
penjelasannya. Tak peduli pada apapun yang mereka lakukan. Hanya peduli pada
hatiku yang terasa sakit.
Kurasa aku
memang membuatnya terkejut. Namun bukan suatu keterkejutan yang kuinginkan.
Bukan karena kejutan yang kupersiapkan untuknya. Namun suatu keterkejutan yang
membuatku merasakan suatu kekecewaan.
***
Ruangan ini
terasa berisik karena isak tangis yang sedari tadi keluar dari mulutku.
Butiran- butiran bening tak dapat berhenti mengalir sedari tadi. Kuarahkan
tanganku di atas dadaku. Jantungku berdegup dengan kencang. Bukan dalam artian
baik. Bukan seperti ketika aku sedang bersamanya. Sakit. Sangat sakit.
Dia. Gadis
yang ada dalam pelukannya bukanlah orang asing baru saja kukenal. Aku
mengenalnya sebagaimana dia mengenalku. Aku bersamanya bukan dalam waktu yang
singkat. Sahabat. Itulah hubungan kami selama ini. Dia tahu benar apa yang
kulakukan hingga akhirnya aku bisa bersama dengan orang yang kusuka. Dia tahu
benar bagaimana beratnya ketika aku hanya mendapat sikap cuek darinya. Dia tahu
benar berapa banyak waktu yang kusia- siakan hanya untuk menatapnya,
menemaninya, dan berada di sampingnya. Bagaimana ini bisa terjadi?
Sahabat
makan teman. Itukah yang saat ini sedang kualami? Sama sekali tak pernah
terlintas pemikiran seperti itu dalam benakku. Aku mengenalnya. Bukankah waktu
3 tahun bukan waktu yang sebentar?
Kulangkahkan
kakiku menuju jendela rumahku. Kusingkirkan tirai yang menutupiku dari langit
malam. Gelap. Malam ini terasa lebih gelap dari malam- malam sebelumnya. Tak
ada sinar bintang dan rembulan yang bersinar di atas langit. Hanya ada sebuah
kegelapan. Seperti gelapnya hatiku saat ini.
Kuhembuskan
napasku keras- keras. Mencoba menormalkan laju pernapasanku yang terasa semakin
berat. Pikiranku melayang ke masa lalu. Masa dimana aku baru menjadi kekasih
Rei. Memang bukan waktu yang lama. Hanya 2 bulan. Dan kenangan indah yang kami
punya pun hanya bisa dihitung oleh jari- jari dalam satu telapak tangan.
Akankah semua ini berakhir hanya dalam 2 bulan?
***
Langkah
kakiku terasa berat, sama seperti kelopak mataku yang semakin memberat. Kemarin
malam hanya kuhabiskan dengan menangis. Tak ada kata tidur nyenyak. Tidurku
selalu dipenuhi dengan kerisauan.
Sulit. Aku
merasa sulit memasuki kelas yang 4 bulan lebih ini kuhuni. Pintu kelas terbuka,
memperlihatkan sosok Rei yang baru saja keluar dari kelasku. Tatapannya sendu?
Menyesalkah?
Kuabaikan
sosoknya yang hanya berdiri diam di ambang pintu. Bergerak memasuki kelas
dengan tanpa mencoba kembali menatapnya. Bangkuku telah berpenghuni. Seseorang
yang sejak dulu duduk denganku menghuninya. Kuambil tempat di bangku kosong
yang terletak jauh dari bangku itu. Duduk sebangku dengan Roni.
“Kenapa
duduk sini?”
“Ngga apa-
apa? Nggak boleh?”
“Yah, boleh-
boleh saja sih... tapi bukannya biasanya lo selalu duduk sama si Febri?”
“Lagi nggak
pengen,”
“Berantem
nih?”
“Yak! Bukan
urusan lo tau!”
***
Memuakkan.
Menyedihkan. Itulah kesan yang kudapat sekarang ini tentang diriku sendiri.
Rasanya begitu berat. Entah yang terbaik mendengarkan apa yang terjadi atau
mempercayai penglihatanku. Hatiku semakin terasa berat dari hari ke hari.
Perasaanku tidak menentu.
Bukan sekali
dua kali Febri mendekatiku. Mencoba menjelaskan apa yang membuatku luka. Tak
jarang handphoneku berdering. Memunculkan nama yang kuhindari akhir- akhir ini.
Rei. Baru sekarang kamu meneleponku berkali- kali, Rei. Pikirku setiap
mendapati handphoneku yang memainkan lagu “I HATE YOU” FT Island. Lagu itu
kupasangkan secara khusus untuknya. Menggambarkan keinginanku untuk
membencinya, walau kenyataannya sampai saat ini pun aku masih belum bisa membencinya.
Aku menatap
langit- langit kamarku. Sebuah lampu bercahaya putih terpasang menyinari ruang
ini. Memberikan sedikit cahaya di tengah kegelapan kamar yang telah kutempati
sepanjang hidupku.
Sebuah
pemikiran tiba- tiba terlintas di benakku. Aku harus segera mengakhirinya.
Menyelesaikan apa yang seharusnya segera kuselesaikan, bukan menghindarinya
yang malah membuat beban pikiranku bertambah.
Sudah
seminggu lebih aku ditengah hubungan yang tidak pasti. Putus? Jadian? Entahlah.
Semua tak bisa dipastikan bila aku tetap menghindar dari apa yang seharusnya
terjadi. Besok akan menjadi penentu. Bila memang sudah tidak mungkin, aku harus
segera mengakhirinya. Bukan hobiku menjadi wanita kedua. Bukan hobiku menerima
segala tusukan luka. Bukan hobiku menjadi seorang pemaksa. Toh, aku masih bisa
menemukan cinta yang lain bila dia memang bukan untukku.
Air mata
tiba- tiba mengalir lagi di pipiku. Sampai kapan air mata ini akan terus
mengucur? Sampai kapan aku harus melepaskan segala cadangan air mataku. Seminggu
ini. Ya. Seminggu ini tak pernah kuhabiskan dengan tanpa air mata. Selalu ada
air mata yang mendesak keluar.
Meskipun
tekadku memastikan akan bisa mengakhiri ini semua, namun tidak dengan hatiku.
Berat. Sungguh benar- benar berat. Melepaskan orang yang kusukai pada sahabatku
sendiri bukan hal yang mudah. Tapi apa daya jika dia memang bukan orang yang
menjadi takdirku. Mia. Kamu harus kuat. Kamu gadis yang tangguh. Kamu bisa.
Kata- kata penyemangat masuk ke otakku. Memberikanku sedikit penguat agar bisa
bertahan. Ya. Aku harus bisa.
***
Dua orang
tengah berdiri di depanku. Raut wajahnya terlihat khawatir. Entah khawatir
tentangku ataupun tentang hubungan mereka. Aku tak mengerti. Dua orang ini
sedari tadi hanya tutup mulut. Membiarkanku membuka percakapan pertama setelah
hari itu.
“Jadi,
apakah memang harus berakhir?”
Air mata
yang kutahan sejak melihat mereka melangkah bersama ke arahku mulai mendesak
keluar. Kutadahkan wajahku ke atas. Berharap air bening ini menghentikan
niatnya untuk mengeliri pipiku. Tidak mau terlihat lemah di mata keduanya.
“Tidak,” Aku
mendengus pelan mendengar ucapannya. “Tidak” dia bilang? Lalu apa yang harus
kulakukan?
“Tidak?
Setelah semua ini kau bilang “tidak”?? Hahh.. kau membuatku ingin tertawa,” aku
menatapnya sinis. Yap. Inilah yang bisa kulakukan agar aku bisa terlihat kuat
dihadapannya. Aku bukan wanita lemah.
“Kau salah
paham, Mia,” gadis itu mulai memperdengarkan suaranya.
“Salah
paham? Alasan apa yang membuat itu terlihat seperti salah paham, hah?” emosiku
keluar. Entah kenapa perasaanku menjadi tidak stabil. Marah. Sedih. Kesal.
“Sudahlah,
Febri. Kau pergi saja dari sini. Biar aku yang menjelaskan padanya,” Ucapnya.
Lihat, bahkan dia bisa begitu lembut pada Febri. Apa yang membuat itu terlihat
salah paham sedangkan kenyataan menunjukkan kalau ini adalah nyata. Real.
Febri
meninggalkan taman –tempat yang kami gunakan untuk berbicara- yang menjadi
kenanganku dengannya. Matanya terlihat sedikit membengkak. Apakah ia juga
menangis? Untuk apa? Menyesal? Huh, benarkah?
“Kau benar-
benar salah paham, Mei,”
“Alasan apa
yang membuat itu bukan suatu kebenaran? Aku melihatnya dengan jelas. Dengan
MATA KEPALAku sendiri,”
“Kau hanya
melihat. Kau tidak mendengar. Kau tidak mengerti apa yang terjadi!”
“Hah? Kau
ingin membuatku mendengarkan apa yang kau bicarakan dengannya? Kau ingin
membuatku mendengarkan nada lembutmu padanya? Baik. Aku SUDAH mendengarnya.
Apalagi yang harus kudengar?”
Dia mendesah
berat. Masih dengan mata yang tertuju padaku, dia melangkah mendekat padaku.
Mengulurkan tangannya untuk merengkuh tubuhku. Diam. Ya. Aku hanya diam. Ini
pertama kalinya sebuah pelukan diberikannya untukku. Air mata yang sejak tadi
masih bisa kutahan, mulai memunculkan kembali niatnya untuk mengalir di pipiku.
Isakan tangis keluar dari mulutku. Tak sanggup menahan rasa aneh yang menjalari
seluruh tubuhku.
“Kau jahat
Rei. Kau membuatku jatuh padamu. Kau membuatku hanya menatapmu. Tapi kau
memberikanku tusukan- tusukan luka. Ini sakit Rei. Kau jahat!” kupukul- pukul
dada bidangnya. Melepaskan perasaan marah yang tak pernah bisa kulampiaskan
pada siapapun.
“Kau salah
paham, Mei,” Ucapnya lembut. Dituntunnya tubhku di sebuah bangku panjang yang
ada di taman itu. Dituntunnya tubuhku untuk jatuh terduduk di sebelahnya. Lalu
membawa tanganku dalam genggamannya. Hangat. Tangan besar itu terasa hangat di
tanganku.
“Aku tahu
aku salah. Waktu itu aku melihat Ega –kekasih Febri- kecelakaan. Kau pasti
tidak tau kalau Febri punya pacar. Kau kan selalu menempeliku,”
“...” aku
diam. Namun mendengar ucapannya, aku tahu aku memang salah dalam hal itu.
“Aku kenal
Egi. Dia sahabatku. Yah, bukan di sekolah kita. Dia teman akrabku waktu masih
SMP,”
“Hmm..”
“Aku tidak
sengaja melihat kecelakaan itu ketika aku akan pergi ke rumahmu. Tidak mungkin
kan aku mengabaikannya?”
“Hmm,”
“Aku
membawanya ke rumah sakit. Kondisinya parah. Bahkan tingkat kesadarannya pun
sangat rendah. Dia bilang, kalau dia janji pada seseorang akan menemuinya di
taman. Saat itulah aku tau bahwa dia adalah Febri temanmu,”
“Hmm,”
“Aku
menemuinya. Memberitahukan padanya tentang kondisi Ega. Dia nangis. Tiba- tiba
aja dia udah memelukku. Aku sama sekali nggak berniat memeluknya.”
“Tapi kenapa
kau ngga meneleponku?”
“HP-ku mati.
Aku lupa men-charge nya,”
“Kenapa kau
membelai- belai rambutnya kalau memang tidak berniat memeluknya? Kenapa kata-
katamu terdengar lembut? Kenapa.....”
“Ssstt.. kau
ngga perlu khawatir. Itu kan bukan berarti aku menyukainya. Aku hanya...”
“Rei....”
kupeluk tubuhnya. Kaku. Mungkin tubuhnya terasa kaku karena terkejut denganku
yang tiba- tiba saja memeluknya. Perlahan tangannya membalas pelukanku.
Kelembutan inilah yang selalu kuinginkan darinya.
“Ssstt..
jadi jangan cemburu lagi. Oke?”
“Hmm.. Rei,
apa yang tadi mau kau ucapin?”
“Ah.. Itu?
Nggak ada kok!” ucapnya sambil melepaskan tangannya dari pelukanku.
Dialihkannya wajahnya pada arah lain. Aku memandangnya curiga.
“Apaan?”
tanyaku penasaran.
“Bukan apa-
apa!”
“Apaan sih
Rei?”
“Oke..oke..
Satu kali. Aku hanya akan berkata satu kali jadi dengarkan baik- baik,”
“Iya,”
“Saranghae.
I love You. Aishiteru,” ucapnya yang membuatku melongo. Benarkah ini kenyataan?
“Jinnjja
-benarkah-?”
“Ya,”
Kupeluk erat
tubuhnya lagi. Senyuman mengembang di bibirku. Akhirnya datang juga kata itu.
Kata yang selalu kutunggu- tunggu. Kata yang tak pernah kuduga akan keluar dari
mulutnya. Bahagia. Aku benar- benar bahagia.
Tangannya
bergerak membalas pelukanku. Membiarkanku merasakan hangat tubuhnya.
Membiarkanku merasakan perasaan lega atas apa yang terjadi.
“Nado.. Nado
Saranghae,”
***
END
By : AFFI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar